Tafsir SURAT (92) AL-LAIL (WAKTU MALAM)

Oleh : DR. Basharat Ahmad

Surat ini termasuk wahyu Makiyah. Surat terakhir sebelumnya, As-Syams(Matahari), bersangkut-paut dengan keluhuran moral dan spiritual yang bisa dicapai oleh jiwa manusia. Sebagai tambahan, surat ini memberikan gambaran yang jelas tentang kehancuran yang menimpa mereka yang melawan seorang manusia jiwa sempurna.

Surat ini menyatakan kepada kita bahwa untuk mencapai kualitas kesempurnaan seperti yang terinci dalam surat 91, As-Syam (Matahari), ada dua persyaratan penting: yakni menegakkan suatu hubungan yang kuat dengan Allah, dan mengembangkan kualitas ketulusan serta semangat pengorbanan:

Tafsir selengkapnya sebagai berikut;

  1. Demi malam tatkala menutupi!
  2. Dan demi siang tatkala menerangi!
  3. Dan demi terciptanya laki-laki dan perempuan!
  4. Sesungguhnya usaha kamu adalah (untuk) berbagai (tujuan).

Kebutuhan yang berbeda dari usaha manusia tentunya menghasilkan akibat yang berbeda dan di sini,  dua macam bukti diketengahkan untuk menunjang pernyataan ini. Bukti tersebut adalah terjadinya siang dan malam, serta tentang laki-laki dan perempuan. Alasan untuk menyajikan dua macam kesaksian ini ialah untuk memperagakan fakta bahwa apa pun yang manusia usahakan itu akan menuju kepada suatu hasil tertentu. Misalnya, kita semua tahu bahwa bumi ini beredar mengelilingi matahari dan bahwa bagian yang tidak menghadap matahari tidak menerima sinarnya sehingga gelap malam jatuh atasnya. Sebaliknya, bagian yang menghadap matahari mempunyai hubungan, maka dengan adanya cahaya sehingga siang hari menimpanya. Begitu pula, hubungan antara laki-laki dan perempuan menghadirkan kelahiran kepada kehidupan yang baru. Jika hubungan antara laki laki dan perempuan ini tidak efektif maka tidak akan melahirkan adanya ciptaan baru.

Dengan cara yang sama, jika jiwa manusia (yang dianggap perempuan) tidak berpasangan dengan laki-laki, maka tak muncul kehidupan baru. Laki-laki melemparkan pengaruhnya dan perempuan menerimanya. Karena itu, segala sesuatu yang memainkan pengaruh atas jiwa manusia secara kiasan dianggap sebagai maskulin sedangkan jiwa manusia itu dianggap feminin.

Demikian pula, kualitas kehidupan dari jiwa manusia tergantung laki-laki yang membentuk persekutuan dengannya. Jika, seperti malam, jiwa manusia itu memilih kegelapan dan bersatu dengan Setan, sumber kegelapan, maka kegelapan tak terelakkan akan menyebar dengan akibat bahwa hal-hal aneh dari kegelapan akan lahir dari keadaan itu. Sesudahnya kewaspadaan dari akal budi akan digantikan oleh kelalaian, dimana usaha maupun kerja keras akan berubah menjadi kemandegan dan kelambanan, dan cahaya pembeda antara yang baik dan yang buruk akan dikalahkan oleh kegelapan dari tiadanya petunjuk dan terjadinya perbuatan dosa.

Dengan cara yang sama, jika hal itu membentuk suatu hubungan yang kuat dengan Allah, Yang adalah Sumber dari seluruh cahaya samawi dan spiritual, maka hal itu akan menjadikan terang benderang seperti siang hari dan akan membabarkan karakteristik dari cahaya itu. Karenanya, adalah suatu kenyataan, bahwa konsekuensi atas usaha kita itu tergantung dari apakah kita memilih cahaya atau kegelapan. Cara-cara dimana dua macam kelekatan ini terbentuk digambarkan dalam ayat-ayat berikut:

  1. Adapun orang yang memberi dan bertaqwa(melaksanakan kewajibannya),
  2. Dan membenarkan apa yang baik,
  3. Kami akan memudahkan baginya (jalan) kemudahan.

Inilah metode dalam membentuk suatu persatuan yang erat dengan Allah: pertama adalah ’ata (memberi  dijalan Allah), yakni, melakukan pengorbanan harta maupun jiwa, atau yang lainnya, dijalan Allah. Kedua adalah taqwa, yakni, menjaga dan memegang teguh kewajiban yang ditetapkan Ilahi yang harus kita tunaikan kepada Allah dan juga kepada ciptaan-Nya. Dan Ketiga, menerima apa yang baik, yakni Islam, yang merupakan kebajikan tertinggi yang dibawa ke dunia oleh Nabi Suci s.a.w. Ini disebut husna (kebajikan), karena segala sesuatu yang diajarkannya membimbing manusia kepada kebajikan yang membahagiakan dan keindahan akhlak. Selanjutnya, didalam Islam tidak ada kekurangan ataupun kekurang sempurnaan sedikitpun. Dengan menerima apa yang baik berarti dengan  menerima Islam dengan sepenuhnya. Ini diletakkan dalam tatanan ketiga (setelah pengorbanan dan taqwa) karena Qur’an Suci ingin menekankan hal utama, bahwa sekedar bicara menerima Islam tidak dapat menjadi bukti atas ketulusan seseorang. Penerimaan itu harus disertai dengan bukti yaitu memenuhi kewajiban dan pengorbanan, atau, dengan kata lain, pengakuan atas keimanan harus ditegaskan dengan amal perbuatan.

Jadi, bila pengorbanan dan ketulusan itu menjadi tonggak penanda kelakuan seseorang, maka sesudahnya pengakuan atas keimanannya akan mencapai tingkat tertinggi dan dapat dikatakan bahwa dia telah memenuhi syarat untuk dikatakan  telah menerima agama ini dengan sebenarnya. Meskipun pengorbanan, taqwa dan kesukaran itu merupakan rantai yang tak terpisah dan dijalan Allah itu nampak berat, namun hanya dengan jalan inilah baginya yang harus ditempuh agar manusia menikmati rahmat spiritual dan anugerah-Nya. Seperti api yang laten didalam batu api, begitu pula kenyamanan, kemudahan, kedamaian dan kebahagiaan itu tersembunyi dalam jubah kesukaran.

  1. Adapun orang yang kikir dan menganggap dirinya dapat mencukupi sendiri.
  2. Dan ia mengingkari apa yang baik,
  3. Kami akan memudahkan baginya (jalan) kesukaran.

Meski manusia dapat mengelak dari kesukaran yang tertanam dijalan Tuhan, namun akhirnya dia tak bisa berbahagia, karena hal itu membawanya pada kesukaran hidup, keadaan yang menyesakkan, kesulitan dan kesedihan.

Bukhl (kekikiran) berarti tidak membelanjakan uang atau kemampuannya atau sumber lain yang serupa. Misalnya, timbul suatu kebutuhan untuk mengeluarkan dana dijalan Allah, tetapi orang itu membalikkan tangannya. Dengan berbuat demikian, dia jelas lari dari pengorbanan serta pengendalian diri yang diminta untuk mendaki jalan naik dan tidak mau menderita sedikit pun untuk berkurang uangnya. Namun, sesungguhnya dia telah memilih jalan yang sungguh mendorongnya kepada penderitaan, kesusahan dan kesulitan hidup. Setiap individu atau bangsa yang memilih jalan kekikiran dan mementingkan diri sendiri serta menolak jalan pengorbanan dan moral yang luhur pasti akan menderita siksaan. Istighna secara harfiah berarti ”mencukupi sendiri” tetapi di sini mengandung konotasi berbeda, yakni, pertama, tak ada sedikitpun pemikiran untuk berkorban atau membelanjakan dijalan Allah dan kedua, tidak menunjukkan kecenderungan kepada taqwa (ketulusan), atau, dengan perkataan lain, memperagakan suatu perbedaan total dengan batasan menetapkan kewajiban diri kita kepada Allah dan kepada sesama manusia.

Karena itu, bukhl(bakhil) dan istighna (merasa bisa mencukupi sendiri atau egoisme), berarti tiadanya pengendalian diri dan ketaqwaan atau tiadanya kedua sifat mulia ini.

Setelah itu ayat selanjutnya memberi kita gambaran keanehan lain dari mereka yang menentang agama. ”Dan mengingkari apa yang baik”, yakni, bahwa dia menolak Islam. Dengan perkataan lain, termasuk yang melawan Islam adalah orang yang sifatnya bertentangan dengan prinsip agama. Bila kelakuan orang itu bertentangan dengan ajaran agama, ini berarti dia tidak memberikan sesuatu pun demi agamanya dan dia tidak menunjukkan sedikitpun kualitas taqwa. Jadi, kedua golongan itu sama-sama jatuh sebagai orang yang menolak  Islam dan mengingkari ajarannya dengan kata-kata dan sebagai seorang yang kelakuannya bertentangan dengan prinsip agama. Dengan kata lain, orang ini adalah penentang Islam dengan sikap dan sifat kelakuannya sehari-hari.

Ayat selanjutnya, ”Kami akan memudahkan baginya (jalan) kesukaran”, menunjuk kepada orang yang menganggap uang itu raja di hatinya dan mau mengikuti nafsu rendahnya sendiri serta mengira bahwa dia sangat beruntung karena dia telah menempuh jalan kesenangan dan kegembiraan. Sedikit saja dia sadar bahwa dia telah memilih suatu jalan yang akan membawanya kepada kesusahan dan bencana.

Mereka yang dimulutnya mengaku sebagai penganut Islam tetapi pada kenyataanya menghindar dari jalan pengendalian diri dan ketaqwaan, harus sungguh-sungguh mawas diri dan merenungkan dengan sungguh-sungguh apakah kekikiran dan egoismenya itu tidak menempatkann diri mereka kedalam satu golongan dengan mereka yang menolak agama.

  1. Dan hartanya tak berguna baginya tatkala ia binasa.

Ayat ini menyatakan kepada kita bahwa hidup berfoya-foya adalah jalan ke keruntuhan. Ironisnya, dia akan memberikan hidupnya tetapi tidak mau memberikan hartanya meskipun hartanya ini kelak pasti harus ditinggalkannya. Dia tidak menyadari bahwa penumpukan hartanya tidak dapat menyelamatkannya dari neraka. Sesungguhnya, suatu bangsa yang tidak mempraktekkan sifat berkorban pada akhirnya akan menderita kehancuran. Jadi bijaksanalah, seorang yang menyadari bahwa tidak ada untungnya dalam menumpuk-numpuk harta demi kepentingannya sendiri, karena disamping harta itu tak dapat menyelamatkan dirinya dari kebinasaan, juga bila harta itu tidak digunakan dijalan kebajikan akan lebih sedikit nilainya dibanding pecahan beling. Cara terbaik untuk membelanjakan sumber dana dan daya seseorang adalah mengorbankannya dijalan Allah karena ini lah yang mampu membuka jalan ke arah pintu sukses.

  1. Sesungguhnya menjadi tanggungan Kami untuk menunjukkan jalan.

Yakni, Allah tidak pernah memaksa seseorang. Dia dengan jelas telah menunjukkan jalan kepada manusia. Keputusannya terserah manusia sendiri: dia boleh memilih sifat mulia untuk berkorban dan bertaqwa sehingga mencapai tujuan damai dan nyaman, atau dia boleh memakai sifat lemah yakni kikir dan egois sehingga berakhir dalam kesusahan dan kesakitan.

  1. Sesungguhnya Akhirat dan dunia itu kepunyaan Kami.

Jaminan diberikan bagi siapapun yang membelanjakan hartanya dijalan Allah akan dengan cantiknya diberi pahala tidak saja di Akhirat  melainkan di dunia ini juga. Memang benar bahwa hidup sesudah mati itu milik Allah, tetapi kita harus mengerti bahwa Kekuasaan-Nya meliputi hidup di alam fana ini juga, sehingga manusia jangan pernah merasa takut sedikit pun mengenai akibat dari hidup taqwa dan pengendalian dirinya, dan dia harus menghapus dari hatinya anjuran setan bahwa Akhirat itu sungguh jauh dan bahwa pengorbanan serta ketulusan itu hanya akan membawa kesusahan dan kesulitan dalam hidup di dunia ini. Ayat ini dengan berkelompok melawan bujuk-rayu jahat dari Setan dan menekankan fakta bahwa tiada tempat atau pun masa yang berada diluar ruang lingkup pengawasan Ilahi. Jika Allah membalas manusia di kehidupan yang akan datang, Dia juga memberi pahala kepadanya di kehidupan sekarang ini.

Ditangan kita ada contoh dari para Sahabat Nabi Suci s.a.w. yang berjalan menempuh jalan pengorbanan dan taqwa yang sukar tetapi penuh pahala. Demikian berlimpahnya karunia Allah dalam kehidupan dunia ini sehingga seringkali mereka khawatir takut kalau-kalau mereka telah diberikan anugerah didunia ini semuanya dan tak ada lagi tertinggal untuk kehidupan akhirat. Ambillah contoh para Ashabul Suffa. Mereka adalah segolongan yang lari bersama Nabi Suci s.a.w. dari Mekkah ke Madinah. Mereka tuna wisma tanpa tempat berlindung dan atap dedaunan dibuatkan untuk mereka di

emperan masjid Nabawi. Rasa lapar dan derita menghantui hidup mereka dan mereka melewati banyak hari-hari bahkan tanpa sebiji pun kurma. Seringkali bahkan mereka tak punya pakaian untuk dikenakan sehingga terpaksa membungkus dirinya dengan sajadah dari masjid. Suatu kali, seorang sahabat Nabi Suci s.a.w. menemukan di padang suatu kain rombeng yang dipotong dua olehnya dan diberikan kepada dua orang sebagai penutup tubuh. Namun lihatlah betapa berlimpah-ruahnya dan bebasnya Allah menganugerahi karunia-Nya bagi mereka bahkan dalam kehidupan ini! Tidak lama sesudah masa kekurangan itu, salah seorang warga dari kelompok itu mendekati warga yang lain dan minta beberapa

kuda. Dia menjawab, bahwa karena dia sendiri sedang sangat membutuhkan pada waktu itu, maka dia hanya bisa memberinya beberapa ratus saja. Dengan kata lain, begitu banyak kuda datang sebagai miliknya sehingga dia dapat meminjamkan lebih banyak lagi bila dia sendiri tak memerlukannya untuk pekerjaannya sehari-hari.

Contoh yang lain dari hal yang berlimpah semacam ini dapat dinilai dari dua peristiwa tentang begitu cepatnya para sahabat Nabi ini dibikin luar-biasa kaya. Pengorbanan Hazrat Abu Bakar untuk Islam melebihi seluruh sahabat yang lain sehingga beliau diangkat menjadi Khalifah sesudah Nabi Suci s.a.w., dan kepala negara Islam yang pertama. Ketika beliau diangkat sebagai Khalifah, bahkan ayahnya sendiri tidak percaya. Segera setelah Nabi Suci s.a.w. wafat maka seluruh jazirah Arab terjun dalam pergolakan dan api pemberontakan menyala di setiap penjuru negeri. Islam sungguh mengalami suatu masa yang sangat tak menentu dalam periode usianya yang masih muda. Pada saat itu seseorang meninggalkan Medinah pergi ke Mekkah dimana dia bertemu dengan Abu Qahafah, ayah dari Abu Bakar, yang saat itu berusia sembilan puluh tahun; seorang yang sangat bijak dan berpengalaman. Tetapi dia belum masuk Islam. Lalu dia bertanya tentang negara Islam Madinah, sekarang setelah Nabi Suci s.a.w. wafat. Orang Madinah itu menjawab: ”Qama rajulun”, yakni, seseorang telah diangkat sebagai imam. Abu Qahafah bertanya: ”Siapa orang itu?”. Orang Madinah itu menjawab: ”Putera Abu Qahafah”, yakni Abu Bakar. Abu Qahafah tidak segera faham bahwa itu puteranya sendiri, maka, lagi-lagi dia bertanya:”Siapa itu putera Abu Qahafah?”. Orang Madinah itu menjawab: ”Puteramu”.  Abu Qahafah terkejut karena heran. Dia meletakkan kepalanya ke lututnya dan terdiam beberapa saat. Kemudian dia mengangkat kepalanya dan bertanya: ”Bagaimana dengan Bani Hasyim?”. Ini adalah suku dari keluarga Nabi Suci. ”Mereka semuanya telah berbaiat kepada Abu Bakar”, jawabnya. Mendengar ini, bapak tua ini lebih terkejut lagi dan dia tundukkan kepalanya lagi. Beberapa waktu kemudian dia memandang dan bertanya: ”Dan bagaimana dengan Bani Umayyah?”. Mereka adalah orang-orang yang sangat cerdas, kaya dan ahli politik. Mengetahui bahwa mereka juga telah berbaiat setia kepada puteranya, kekaguman sang ayah semakin meningkat. Dia tundukkan lagi kepalanya sejenak, kemudian mengangkat kepalanya dan sekali lagi bertanya: ”Bagaimana dengan kaum Ansar (Penolong) di Madinah?” (Kaum Ansar adalah penghuni kota Madinah yang member tempat berlindung kepada Nabi Suci dan para sahabat ketika mereka pergi dari Mekkah ke Madinah) Mendengar hal ini, bahwa mereka juga telah berbaiat di tangan Abu Bakar, kekaguman sang ayah sungguh tak terbayangkan.

Sejenak kemudian, dia mengagumi dirinya, berdiri dan pergi sambil mengucap: ”Al Islamu haqq”, yakni , memang benar Islam itu agama yang haqq. ”Begitu banyak hambatan yang bisa disingkirkan dari jalan puteraku dan sekarang dia telah menjadi pewaris Nabi Suci s.a.w.”

Suatu kesaksian tentang kebenaran, kebebasan, persamaan dan terpenuhinya janji yang melebihi sesuatu yang mustahil  namun dapat kita ketemukan.

Peristiwa kedua misalnya muncul dari kehidupan Kalifah Islam, Hazrat ’Umar. suatu kali dalam kekhalifahannya dia telah menyelesaikan rukun hajinya dan sedang dalam perjalanan pulang. Besertanya adalah gelombang tujuh ratus ribu jemaah, di antaranya adalah ratusan sahabat Nabi Suci s.a.w. Beberapa jauh dari Mekkah mereka sampai di sebatang pohon akasia dan Hazrat ’Umar pergi dan berdiri di bawahnya. Dia berdiri di sana dengan berfikir keras memandang pohon itu. Waktu itu hari sangat terik dan orang-orang yang berdiri di bawah matahari yang menyengat itu mulai merasakan panasnya yang sangat. Akhirnya seorang sahabat bernama Hazrat Hudhaifah bin al Imam mendekati Kalifah dan bertanya kenapa beliau memandang begitu tajam di bawah pohon itu di saat orang-orang menjadi gelisah oleh matahari yang membakar.

Inilah jawaban beliau yang menyentuh: “Saya sedang berfikir betapa kita ini dan apa yang Islam telah berikan kepada kita – bagaimana Islam ini telah mengangkat kita ke puncak kemajuan manusia. Ada suatu masa di waktu saya masih kecil ketika saya biasa menggembala unta di sini dan karena kelalaian saya maka hilanglah seekor. Karena kelalaian saya ini ayah saya memukuli saya dengan keras di bawah pohon ini. Lihatlah keadaanku sesudahnya dan pertimbangkanlah sekarang – seluruh jazirah Arab dan Iran, Roma, Syria, Mesir dan Afrika semua gemetar karena takut dan kagum atas kegemilangan kita. Bagaimana kita mendapatkan segalanya ini kalau tidak karena berkah dan rahmat dari Islam?”

Pendeknya, mereka yang menjalankan pengabdian tanpa pamrih pribadi dan ketaqwaan di jalan Allah akan dikaruniai segala hal yang melimpah-ruah dari kemurahan-Nya, tidak saja di Akhirat tetapi juga dalam kehidupan didunia ini. Maka adalah salah untuk mengira bahwa jika kita berkorban dalam hidup ini dan mengembangkan perilaku moral yang luhur maka kita akan jadi melarat, atau melancarkan pemikiran bahwa dalam dunia modern ini hidup bermoral  yang kurang mengenakkan itu bukan masanya lagi.

  1. Maka Kami memperingatkan kamu tentang Api yang menyala.
  2. Tiada yang akan masuk ke sana kecuali orang yang paling celaka.
  3. Yang mengingkari (kebenaran) dan berpaling.
  4. Dan akan dijauhkan dari (Neraka) orang yang paling bertaqwa.
  5. Yang memberikan hartanya, untuk menyucikan dirinya.

Ayat-ayat ini memberi kita suatu gambaran akan ’usra (kemudahan) dan yusra (kesukaran), suatu manifestasi sempurna yang mana akan disaksikan pada Hari Kebangkitan. Qur’an Suci menyatakan kepada kita bahwa dia yang memilih jalan kesenangan dan mengambang serta menolak Islam dalam hatinya dan karena kelakuannya itu akan masuk ke dalam api yang menyala sebagai akibat langsung dari kekikirannya dan ketidak-acuhannya kepada agama. Keadaannya adalah yang paling celaka, karena Allah telah menjelaskan kepadanya jalan kemudahan, yakni kebahagiaan dan kedamaian, tetapi orang yang tak beruntung ini telah menolaknya dan memunggunginya dan karena itu telah mendatangkan bencana

atas dirinya dengan tangannya sendiri.

Sebaliknya, yang jauh sekali dari api ini adalah seorang yang benar-benar taqwa. Suatu gambaran dari seorang yang sungguh takut kepada Allah telah ditunjukkan oleh Allah sendiri, yakni seorang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah untuk mensucikan dan memperbaiki dirinya. Tazkiyyah (pensucian) berarti memelihara bakat dan potensi ruhani seseorang sebagai sarana untuk kebersihan,

kesucian, kedermawanan dan kebajikan. Ayat-ayat ini juga memberi tahu kita bahwa orang yang sadar-Ilahi dan tulus itu ialah yang dihatinya mendambakan untuk menyerap semua sifat kebaikan yang telah diberikan Tuhan, dan yang membelanjakan dengan bebas apa-apa yang paling dicintainya tanpa sedikitpun keraguan untuk mencapai tujuan hidupnya. Satu-satunya niat yang ada ialah mensucikan dan menumbuhkan jiwanya. Tak ada sedikitpun keinginan dalam hatinya untuk mencari nama atau ketenaran ataupun untuk pamer.

  1. Dan tak seorang pun yang di sisinya mempunyai kenikmatan sebagai ganjaran,
  2. Kecuali orang yang mencari perkenan Tuhannya, Yang Maha-luhur.

Kita sudah diberitahu bahwa tak ada seorang pun memiliki suatu kebaikan tertentu dalam hidup ini dimana dia punya hak untuk minta pahala dari Allah, karena sesungguhnya, segala sesuatu itu adalah suatu anugerah yang dikaruniakan oleh Allah; sebagaimana kuplet penyair Imam Mirza Ghalib dengan indahnya menyatakan:

Hidup sesungguhnya yang kita nikmati ini adalah karunia-Nya.

Yang benar adalah, kita kurang bersyukur kepada-Nya.

Yang benar adalah, kita kurang bersyukur kepada-Nya

dengan memenuhi kewajiban kita kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.

Jadi, bila kita tidak menggunakan pemberian Ilahi demi mencari keridlaan Tuhan kita, apakah benar bila kita meminta balasan? Apa pun yang telah  dikaruniakan Allah kepada kita semuanya adalah hadiah dari Allah – kekayaan, kekuasaan, kehormatan, pangkat, ilmu, kehidupan, bakat yang bagus, semuanya dianugerahkan kepada kita, maka sungguh naif kalau kita menjadi riang-gembira. Ini adalah rahmat dari Allah dan kami tidak bisa memetik pahala dari itu kecuali bila hal itu digunakan semata-mata di jalanNya.

Selanjutnya, sikap kita adalah tidak ada niat yang menonjol dalam diri guna mencari reputasi, popularitas, atau keuntungan duniawi, ataupun kita menggunakannya untuk membayar kembali orang-orang lain dari jasanya kepada kita. Tetapi, hal-hal tersebut harus dihabiskan semata-mata demi memperoleh keridlaan Allah. Hanya dengan demikian maka rahmat ini akan menunjang kita dalam mencapai tujuan yang kita dambakan. Bila hal itu telah kita lakukan, maka ayat berikutnya menjanjikan:

  1. Dan ia akan segera mendapat perkenan-(Nya).

Yakni, dia akan bersuka-cita dengan keridlaan Allah, jika seseorang itu berusaha keras memenangkan persetujuan Allah, maka sebagai balasannya, Allah tidak akan kikir dalam kasih-sayangNya kepadanya. Apakah kebahagiaan dari pengalaman seorang hamba bila Tuhannya telah ridla kepadanya sebagai sesuatu yang bisa dilewatkan? Bagi mereka yang mencari ridla Allah, maka Tuhannya membuat mereka bahagia dan tenteram dengan cara apa pun dan bahkan memberi mereka bukti yang terang atas terpujinya perbuatannya. Misalnya, Dia puas dengan para sahabat Nabi Suci maka Dia membuat mereka bahagia di dunia dan di Akhirat.

 

CATATAN

Dalam ayat, “Kecuali orang yang mencari perkenan Tuhannya, Yang Maha-luhur”, ada dua titik cerdas yang perlu diperhatikan.

Pertama ialah bahwa dengan menyatakan, Tuhanmu Yang Maha-tinggi, perhatian kita dibawa kepada kenyataan bahwa Tuhan itu Yang-Tinggi dari yang tertinggi, karenanya dengan mencari keridlaan kepada seseorang selain-Nya sama dengan menempuh arah kemerosotan. Karena itu, berusaha menacri ridla Dia Yang Paling Tinggi adalah tujuan hidup tertinggi dan bila seseorang tetap meletakkan tujuan itu sebagai yang paling utama dalam fikirannya, dia tak akan pernah menderita kehinaan atau keterpurukan tetapi sebaliknya dia akan mencapai keluhuran dan memperoleh kesempurnaan. Dengan tidak mencari keridlaan Allah Ta’ala, Yang-terbaik dari semua hakim, dan sebaliknya kesana-kemari menggunakan sarana yang tidak halal untuk memuaskan niat yang rendah adalah bentuk terburuk dari kebodohan dan lebih dari itu, hal ini bertolak-belakang dengan keyakinan kita kepada Tuhan Yang-esa.

Titik kedua yang berharga untuk dicatat yakni bahwa tujuan mukmin itu hanya mencari keridlaan Tuhannya. Surga itu bukanlah tujuan yang diinginkan. Sesungguhnya, proses untuk memenangkan keridlaan Allah dan keberhasilan dalam usahanya itulah yang membentuk surga seorang Muslim sejati. Kebun dan sungai adalah rahmat yang menyertai Surga tetapi ini hanya bisa dihasilkan melalui ridla Allah. Maka bagi seorang mukmin, bukanlah prioritas untuk mendapat kebun dan sungai. Sebagai gantinya, berusaha untuk memenangkan persetujuan dari Tuhannya adalah tujuan satu-satunya. Kebun dan sungai ini adalah jamuan dari Allah kepada hambaNya yang telah menghabiskan hidupnya demi mencari keridlaan-Nya sebagaimana kita bisa pelajari dari ayat Qur’an Suci ini:  Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berbuat baik, mereka memperoleh Taman Firdaus, sebuah perjamuan (18:107).

Penerjemah : H. Imam Musa Projosiswoyo (alm)

Editor : Dr. Bambang Darma Putra, Sulardi Np.

Tinggalkan komentar