Kematian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad

“Aduh celaka sekali hamba-hamba itu! Tiada datang kepada mereka seorang Utusan melainkan mereka memperolok-olok dia “ (Q.S. 36:30)

Premis Yang Salah

Para penentang Imam Zaman Hazrat Mirza Ghulam Ahmad dan Gerakannya seringkali mengemukakan bahwa kematian beliau karena doa mubahalah beliau sendiri yang ditulis pada tanggal 15 April 1907 lalu dimuat dalam majalah Ahli Hadits, edisi 26 April 1907, yang beliau namakan “Penghabisan Verslag” yang dipetik oleh penulis artikel “Matinya Mirza Ghulam Ahmad” dalam rubrik Cakrawala Majalah Keluarga Islam NIKAH Vol. 7 No. 3 Juni-Juli 2008. Sbb: “Wahai Allah SWT yang Maha-mengetahui rahasia-rahasia yang tersimpan di hati. Jika aku seorang pendusta, pelaku kerusakan dalam pandangan-Mu, suka membuat kedustaan atas nama-Mu pada waktu siang dan malam hari, maka binasakanlah aku saat Ustadz Tsanaullah masih hidup, dan berilah kegembiraan kepada pengikutnya dengan sebab kematianku”. Lebih lanjut: “Wahai Allah! Dan jika saya benar, sedangkan Tsanaullah berada di atas kebathilan pendusta pada tuduhan yang diarahkan kepadaku, maka binasakanlah dia dengan penyakit ganas, seperti tha’un, kolera atau penyakit lainnya, saat aku masih hidup. Amin.”

Lalu disimpulkan sbb: “Begitulah bunyi doa Mirza Ghulam Ahmad. Sebuah doa mubahalah. Dan benarlah, doa yang ia tulis dalam suratnya tersebut dikabulkan oleh Allah SWT, tepatnya, 13 bulan 10 hari sejak doanya itu, yaitu pada tanggal 26 bulan Mei tahun 1908M. Mirza Ghulam Ahmad ini dibinasakan oleh Allah SWT dengan penyakit kolera yang dia harapkan menimpa Syekh Tsanaullah” (hlm. 42). Sepintas lalu kesimpulan tersebut benar, karena Syekh Tsanaullah masih hidup sampai sekitar 40 tahun setelah kematian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad. Akan tetapi kesimpulan tersebut salah, karena premisnya salah, sebab hanya mencomot sebagian teks saja dari suatu surat dalam peristiwa yang panjang, maka keluar dari konteksnya. Maka dari itu opini semacam itu menyesatkan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Tsanaullah Menolak Bermubahalah

Perlu diketahui bahwa kematian Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tak ada hubungan dengan doa dalam surat mubahalah itu, sebab Tsanaullah menolak menandatanganinya. Berarti Tsanaullah tak berani bermubahalah dengan beliau untuk yang kedua kalinya, sebagaimana tercermin dalam pernyataan yang dimuat dalam edisi tersebut, yang bunyinya sbb: “Tuan tidak minta izin terlebih dahulu kepada saya untuk menuliskan doa itu. Oleh sebab itu saya tidak mau menerima doa itu. Saya melawan tuan. Tetapi kalau saya mati apa faedahnya untuk orang lain? Rasul yang datang dari Allah senantiasa mau supaya orang lain jangan binasa. Apa sebab tuan mendoa untuk membinasakan saya? Allah SWT akan memberi umur panjang kepada orang dusta. Orang yang mufsid dan orang penipu dan orang yang melawan hukum Allah, supaya ia leluasa untuk berbuat jahat. Oleh sebab itu saya tidak mau menerima tulisan tuan itu, dan tidak bisa diterima oleh seorang yang berakal” (hlm. 5-6).

Dalam edisi sebelumnya – tatkala surat mubahalah terlanjur dikirimkan – Tsanaullah menulis sbb: “Saya tidak pernah mengajak tuan untuk mubahalah. Saya cuma mengatakan mau bersumpah, tetapi tuan anggap perkataan saya itu sebagai ajakan untuk mubahalah. Padahal dalam mubahalah mesti bersumpah kedua belah pihaknya. Saya mau bersumpah, bukan mubahalah; sumpah lain dengan mubahalah”. (Ahli Hadits, 19 April 1907. hlm 4).
Pernyataan Tsanaullah yang mengisyaratkan adanya ketakutan itu sebagai respons terhadap tanggapan Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad pada awal bulan April 1907 sbb: “Baiklah, kalau Maulvi jadi mubahalah dengan saya, dia mesti mati di kalangan saya” yang kemudian beliau perjelas dalam selebaran tertanggal 5 April 1907 a.l. sbb: “Jikalau memang saya seorang pembohong, pengada-ada sebagai yang engkau tuduhkan dalam tiap-tiap karanganmu itu maka saya akan mati celaka diwaktu engkau masih hidup”. Karena saya tahu bahwa segala perusak, pembohong tidaklah akan hidup lebih lama dan akhirnya dia akan mati secara hina dina dan menyesal dikala masih hidup musuh besarnya, sehingga dia tidak mungkin lagi merusak-binasakan hamba Allah”.

Selebaran tersebut merupakan jawaban atas kesediaan Tsanaullah bermubalalah dengan beliau, yang telah disebarluaskan lewat majalahnya, Ahli Hadits edisi 29 Maret 1907, ia menyatakan kesediaannya dengan berpedoman kepada ayat “faqul ta’alau nad’u abna-ana wa abna -akum (maka katakanlah mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu…. QS 3: 61) dan sekarang juga saya berani bemubahalah” pernyataan serupa ini pernah pula ia nyatakan sekitar satu tahun sebelumnya (1906) yang akhirnya juga ia ingkari dengan alasan “Saya bukan nabi, bukan rasul seperti tuan dan pula tidak menerima wahyu dari Tuhan. Sebab itu saya tidak dapat berhadapan dengan cara ini.”

Jawaban tersebut terkait dengan pernyataan Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tahun 1902, tatkala Tsanaullah pertama kali tampil menyambut tantangan mubahalah beliau, yang langsung beliau sambut dengan pernyataan “si pendusta akan mati semasa yang benar masih hidup” (I’jaz Ahmadi. 1902, hlm. 4).

Sejarah mencatat, tatkala perlawanan terhadap Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menjadi-jadi, beliau menempuh jalan yang amat menentukan, mubahalah, yakni memohon keputusan Ilahi supaya yang dusta dikutuk oleh Allah dengan jalan mati terkutuk, selama yang benar masih hidup. Jangka waktunya satu tahun. Dalam tahun 1896 beliau telah menginventarisir sejumlah ulama penentang keras beliau dalam bukunya Anjam Atham. Mereka ditantang untuk melakukan mubahalah. Semuanya diam tak menjawab tantangan mubahalah beliau itu, tetapi beberapa tahun kemudian karena desakan kawan-kawannya, Syekh Tsanaullah (nomor 11) berani menyambut tantangan mubahalah beliau itu. Kesediaan Tsanaullah itulah mendorong Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad menyatakan seperti tersebut dalam I’jaz Ahmadi (1902) di atas.

Jadi tarik menarik antara jadi mubahalah atau tidak jadi mubahalah itu berlangsung tidak kurang dari sepuluh tahun, dari tahun 1896 sampai dengan 12 April 1907. Pada tanggal ini pula surat kabar Wathan memuat tulisan Tsanaullah yang ditujukan kepada beliau: “(Wahai Ahmad) tolonglah perlihatkan kepada saya suatu mukjizat agar saya mendapat petunjuk, kalau saya sudah mati apa yang akan saya lihat dan bagaimana saya akan memperoleh petunjuk?” Empat bulan berikutnya dalam majalah Muraqqa Qadiani edisi bulan Agustus 1907, dia menulis lagi: ”Nabi Muhammad SAW. yang benar itu sudah wafat lebih dahulu dari Musailamah pendusta, sedang umur Musailamah sudah dipanjangkan” (Fawzy Sa’ied Thaha, Ahmadiyah Dalam Persoalan, 1981. hlm. l79).

Dari paparan tersebut teranglah bahwa Syekh Tsanaullah dua kali tampil untuk melakukan mubahalah dengan Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tetapi dua kali pula dia menarik diri dari medan perang doa itu. Jadi mubahalah antara keduanya tidak pernah terjadi. Dengan demikian kematian Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad tak ada hubungan dengan doa mubahalah yang dimuat dalam majalah Ahli Hadits tanggal 26 April 1907, sebab dia tidak berani menandatangani surat mubahalah tersebut. Jika demikian yang dikabulkan oleh Allah apakah bukan ucapan Syekh Tsanaullah yang juga dipublikasikan pada 26 April 1907 dalam majalah Ahli Hadits itu “Allah SWT akan memberi umur panjang kepada orang dusta. Orang yang mufsid dan orang penipu dan orang yang melawan hukum Allah, supaya ia leluasa untuk berbuat jahat?

Penggenapan Profetik-Eskatologik
Kelakuan para ulama seperti yang dipresentasikan oleh Syeikh Tsanaullah itu selain merupakan manifestasi dari pernyataan Ilahi dalam ayat QS 36:30 di atas, juga mengingatkan orang-orang tulus akan perbuatan orang-orang beriman di akhir zaman, bahwa mereka dinasehati agar menyesuaikan perbuatannya dengan ucapannya (61:2-3), jangan seperti “orang-orang yang dibebani Taurat, lalu mereka tak memperhatikan itu” lukisannya “ibarat keledai yang mengangkut kitab-kitab;” Allah tegaskan “Buruk sekali perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah. Dan Allah tak memberi petunjuk kepada kaum yang lalim” (62:5). Lebih lanjut Allah menjelaskan: “Katakanlah:Wahai orang-orang Yahudi, jika kamumengira bahwa kamu adalah kekasih Allah dengan mengecualikan manusia yang lainnya, maka mohonlah kematian jika kamu orang yang benar” (62:7). Akhirnya hamba-hamba yang tulus dianjurkan agar menyatakan: “Sesungguhnya kematian yang kamu melarikan diri daripadanya, itulah sesungguhnya yang akan menjumpai engkau; lalu kamu akan dikembalikan kepada Tuhan Yang Maha mengetahui barang ghaib dan barang yang kelihatan, lalu ia akan memberitahukan kepada kamu apa yang kamu kerjakan” (62:8)
Di akhir zaman ini orang-orang dianugerahi Allah dengan karunia yang besar (62:4) adalah kaum Ahmadi, karena merekalah yang dikaruniai hidayah Ilahi lewat seorang utusan dari bangsa lain yang belum pernah menggabungkan diri dengan bangsa Ummi (62:3), beliau adalah madzhar sempurna Nabi Suci Muhammad SAW. seorang Utusan dari bangsa Ummi (62:2). Mereka adalah orang yang telah mendengar seruan seorang Munadi (Penyeru) yang menyeru kepada iman dan mereka beriman (3:193). Sedang yang dimaksud “Yahudi” yang menganggap sebagai kekasih Allah, tetapi takut menghadap-Nya adalah para alim ulama Islam yang diwakilkan oleh Syeikh Tsanaullah dkk, karena seperti diterangkan di muka ia tak berani bermubahalah dengan Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad hanya karena takut mati, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat 62: 6-7. Mereka memperolok-olok orang yang diutus Tuhan (36: 30) karena merasa dirinya benar.
Sejarah pun memberi kesaksian, seandainya terjadi mubahalah tentu Tsanaullah mati sebelum 26 April 1908, tatkala Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad masih hidup, sebab beliau wafat tanggal 26 Mei 1908. Karena tak terjadi mubahalah maka yang terjadi adalah ucapan Syeikh Tsanaullah sendiri “bahwa Allah SWT akan memberi umur panjang kepada orang dusta, orang yang mufsid dan orang yang melawan hukum Allah.” Bagaimana kehidupan Tsanaullah pasca 1907?  Dalam usianya yang panjang ia menyaksikan kegagalan jihadnya dalam membinasakan Ahmadiyah. Karena Gerakan Ahmadiyah terus berkembang bukan hanya di India-Pakistan saja, melainkan juga diseluruh dunia. Sedang perjuangan dirinya terus melemah, dan akhirnya lenyap tanpa bekas, tak ada penerus.
Tatkala terjadi huru-hara pada tahun 1947 di anak benua India, anak tunggalnya (laki-laki) dicincang oleh orang-orang Sikh dihadapan matanya sendiri. Sesudah itu rumahnya dibakar, isinya a.l. ribuan buku kebanggaannya dibakar hangus oleh orang-orang Sikh itu. Dia dan istrinya harus angkat kaki dari Amritsar mencari perlindungan baru di negeri baru, Pakistan. Dia tinggal di pondok kecil di sudut kota Sargodha. Di sinilah dia kembali kepada Tuhannya tanpa meninggalkan anak, murid, nama dan pengaruh. Hanya preman berjubah saja yang mengagungkan dia. Sebaliknya, Imam Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, pengikutnya terus bertambah dan terus berjuang menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia. Pusat-pusat dakwah dan tabligh dibuka di kota-kota besar dunia. Tafsir Quran dan buku-buku agama ditulis dalam berbagai bahasa dunia hanya demi Tegak Kalimatullah tanpa menggunakan pedang, sesuai dengan profetik-eskatologik tentang patahnya salib dan terbitnya matahari dari barat, karena memang demikian penggenapannya.
KH. S. Ali Yasir

2 Tanggapan

  1. aku sering melihat dimana setiap kesombongan akan dijungkirbalikan, semoga Allah memberikan petunjuk bagi kita semua.

  2. Assalamu’alaikum wr wb.
    ikhwan temon Tsanaullah Yth, didalam QS 113, (Al-Asr) Allah memberikan peringatan kepada kita bahwa dengan berjalannya waktu manusia sesungguhnya mengalami kerugian kecuali orang2 yang beriman dan beramal saleh. Didalam sejarah perjuangan Rasulullah betapa hebat perlawan kaum kafir, akan tetapi hanya dalam hitungan tahun orang2 yang melawan tersebut dapat dikalahkan. Demikian pula perjuangan yang dilakukan oleh orang2 yang memusuhi utusan Allah (Mujadid), nampaknya diawal2 perjuangan mengalami kemenangan yang nyata, akan tetapi dengan berjalannya waktu para musuh itu mengalami kehancuran dan kehinaan yang demikian menyedihkan. Demikianlah Allah sepanjang waktu tidak akan tinggal diam menunjukkan kepada semua manusia bahwa siapa saja yang membantu utusan Allah, dia akan diberikan kemenangan sedangkan orang2 yang memusuhi dan merintangi jalan2 penyiaran Islam akan dibinasakan dan dihancurkan. Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua, dan Allah senantiasa memberikan perlindungan didalam perjuangan kita. amin. Wassalam wr wb.

Tinggalkan komentar